Kamis, 19 September 2013

lidah doni



Lidah itu lunak. Tak bertulang. Susah diatur. Semaunya saja. Beda dengan mata. Bisa dipejam. Kalau tak mau melihat. Beda dengan hidung. Bisa ditutup. Jika tak mau menghirup. Tapi lidah lain. Susah dikendalikan. Susah sekali. Juga bagi Doni. Padahal Doni masih muda. Usianya belum senja. Belum pula kepala dua.
Doni hanya anak remaja. Punya banyak mimpi. Punya banyak cita-cita. Tapi inilah kendalanya. Lidahnya tak bisa diatur. Mau tampil terus. Seperti tak diurus.
Suatu kali Marwan masuk ke kelas. Sepatunya baru. Semua mata menuju. Mata Doni juga. Semua memuji.
“Sepatu yang bagus” kata seorang teman.
“Pasti beli di luar negeri” kata teman yang lain.
“Ah, biasa paling minjem. Punyaku lebih keren asli buatan Italy” suara itu tiba-tiba memecah kebisingan. Doni terkejut. Lidahnya berulah lagi. Padahal sepatu Doni sudah butut. Tak layak lagi disebut sepatu. Butut dan layak disejajarkan dengan batu.
Semua mata memandang Doni. Tapi semua seperti maklum. Pasti Doni asal ngomong. Pasti lidah Doni berulah lagi. Tak ada yang memandang ke bawah. Mencari tahu soal sepatu Italy. Sepatu yang jadi sesumbar Doni.
Kali lain, Deasy tampil mengenakan baju baru. Di sekolah Doni tiap hari Sabtu semua memakai baju bebas. Tak ada seragam hari itu. Deasy tampak anggun dengan baju barunya. Semua memuji. Semua memandangnya dari bawah ke atas. Memuji gaun Deasy. Gaun yang membuat Deasy tampak bak bidadari. Begitu juga Doni. Melihat dan ingin memuji.
“Paling beli di pasar kaget. Itu lho yang jual pakaian bekas..” suara itu keras terdengar. Doni saja terkejut. Tangannya refleks menutup mulutnya. Lidahnya berulah lagi. Kali ini hasilnya tragis. Deasy menangis. Teman-teman kesal. Menunjuk-nunjuk Doni.
Doni kecut. Merengut. Bangun dari bangkunya. Keluar kelas. Menuju kamar mandi. Doni diam di kamar mandi. Berdiri di depan kaca.
Kaca itu jelas memantulkan siapa saja yang di depannya. Kali itu hanya Doni. Tak ada anak lain. Semua diam di kelas. Hanya Doni di kamar mandi.
Doni membuka mulutnya. Setelah melihat ke kanan dan kiri. Satu per satu diperhatikannya isi mulutnya. Tak ada yang aneh, pikir Doni. Tapi kemudian Doni terhenyak. Lidahnya tampak menjulur keluar. Padahal itu tak diinginkannya. Lidah itu menjulur keluar seperti mengejek Doni. Meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri. Doni berusaha mengatupkan mulutnya. Tapi lidah itu meronta, tak ingin dikekang. Tak ingin masuk mulut. Akhirnya Doni memaksa mengatupkan mulutnya. Lidah itu terluka. Tergigit oleh gigi taring Doni.
Diambilnya tisu. Disekanya bekas darah yang keluar dari sudut bibirnya. Perlahan Doni berjalan kembali ke kelas.
Di rumah Doni sendu. Siapapun menyapa tak dijawabnya. Tak juga mamanya yang menatap Doni heran. Tapi mamanya tahu. Ini pasti ulah lidah Doni. Kejadian ini sudah sering. Lidah itu berulah lagi. Kali ini Doni benar-benar sedih. Didiamkannya saja anaknya itu. Nanti saja kuhibur dia, pikir mama Doni.
Orang tua itu mengetuk pintu. Pintu dibukakan. Mama Doni tersenyum padanya. Orang tua itu masuk ke dalam rumah. Duduk di ruang tamu. Tak lama sirup dingin keluar. Tersaji bagi si orang tua. Kerongkongan kering perlahan jadi ramah. Oleh segarnya air sejuk manis sirup belewah. Mama Doni tampak menemaninya. Mereka bicara serius. Rupanya tentang Doni.
Beberapa tahun lalu Doni tidak begini. Lidahnya ramah dan selalu memuji. Tapi satu peristiwa mengubah Doni. Pengemis di depan sekolah sakit hati. Doni tak memberi uang pembeli nasi. Doni iba saat itu. Tapi tidak dengan teman-temannya saat itu. Semua kompak mengejek sang pengemis. Doni waktu itu hanya diam. Tak dibelanya si pengemis. Tak diturutinya pula ejekan teman-temannya. Tapi Doni yang kena tulah. Si pengemis berkata-kata. Dalam bahasa yang tak dimengerti mereka. Setelah itu air tersembur. Semua lari. Doni tak sadar. Tak diperhatikannya arah semburan. Semua kena padanya. Sejak itu lidahnya berulah. Tak mau diatur. Sesukanya berkata-kata.
Sore itu segera berlalu. Doni pilu. Karena lidah yang berulah. Makan malam terasa tak sedap. Tidur pun jadi asa lelap. Doni larut dalam sedih menatap nasib karena lidah. Apa lagi yang akan terjadi besok? Pikirnya.
Pagi harinya Doni masih sedih. Sarapan pagi disantap ala kadarnya. Tak dinikmatinya roti isi sosis itu. Hanya dimakan tanpa dirasa.
“Ma, Doni jalan dulu…” kali itu Doni bisa permisi pada mamanya. Padahal kemarin-kemarin bukan kata permisi yang keluar tapi perintah ini itu pada mamanya. Bersihkan kamar lah, belikan ini lah, belikan itu lah, dan lain-lain. Doni heran. Apa lidahnya sudah membaik?
Di sekolah Doni hanya diam. Teman-teman menjauhinya. Takut dikata-katai. Takut kecewa mendengar kata-kata Doni. Tapi lidah itu tak berulah kali ini. Doni tetap diam sampai akhirnya gurunya bertanya. Doni menjawab. Jawabannya lugas. Persis apa yang dimaui gurunya.
“Jawaban yang sangat cerdas Doni!” puji gurunya. Doni bingung. Teman-teman Doni juga bingung. Tapi bingungnya tak lama. Tepuk tangan terdengar membahana.
Hari terus berlalu. Pergantian pelajaran mengulang peristiwa yang sama. Doni tampil bak bintang kelas. Semua pertanyaan dijawab tuntas. Lengkap dan benar-benar jelas.
Hari itu Doni sangat gembira. Teman-teman mulai mendekat. Semuanya tampak ceria.
“Wah, hebat Doni, ada apa ya? Kok kamu bisa tiba-tiba berubah gini?” hanya itu pertanyaan teman-teman. Doni tak bisa menjelaskan. Hanya tutur maaf yang terucap. Mohon maaf atas perkataanku selama ini ya, hanya itu yang bisa Doni katakan.
Menuju rumah Doni tampak senang. Di tepi jalan tak sengaja Doni melihat. Pengemis yang dulu dihina oleh teman-temannya. Pengemis yang berkata-kata tak dimengerti yang lalu menyemburkan air. Doni mendadak ketakutan. Tapi pengemis itu tampak tersenyum. Doni menatap singkat pengemis itu. menundukkan kepala tanda permisi. Pengemis itu hanya tersenyum.
Di rumah secangkir sirup blewah sudah menunggu. Mama Doni menyambutnya ceria. Doni tersenyum menatap mamanya.
“Ma, hari ini lain Ma” kata Doni, “Lidah tak berulah Ma…” mama Doni hanya tersenyum. Dirapikannya meja makan. Disiapkannya makan siang untuk Doni.
Sambil makan Doni melihat ke luar jendela. Pemandangan yang membuat Doni kaget. Pengemis itu ada di luar. Tapi tak menatap Doni. Pengemis itu terlihat sibuk. Rupanya dia sedang merapikan taman.
“Ma, itu siapa yang diluar sana?” tanya Doni. Mamanya lalu menjelaskan. Itu adalah seorang pengemis. Sudah lama pengemis itu mencari seorang anak. Katanya anak itu telah salah kena tulah. Ciri-cirinya mirip Doni. Ketika suatu kali melihat Doni, orang tua itu mengikuti Doni pulang. Lalu bertemu mama Doni. Orang tua itu butuh pekerjaan. Mama Doni menyambutnya baik. Pekerjaan tukang kebun pun diberikan. Orang tua itu kemudian mengaku salah. Menggunakan ilmu bukan untuk kebaikan. Malah untuk tulah. Sayang kena anak yang salah. Sejak itu dia berjanji tak akan main-main ilmu lagi. Pengalaman dengan Doni sudah membuka matanya.
Begitu penjelasan mamanya selesai, Doni langsung keluar. Disapanya orang tua itu. Orang tua itu bukan lagi pengemis. Dia tukang kebun Doni sekarang. Doni minta maaf padanya. Minta maaf atas perlakuan teman-temannya dulu. Minta maaf karena waktu itu Doni tak bisa mencegah teman-temannya menghina si pengemis. Orang tua itu tersenyum. Ditepuknya pundak Doni. Mereka pun saling bercerita. Doni senang. Lidahnya tak berulah lagi. Mudah-mudahan tak ada lagi orang yang sakit hati. Karena asal bicara. Asal ngomong. Tak peduli kalau ada yang sakit hati. Mudah-mudahan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar