Kamis, 19 September 2013

dia cinta pertamaku



Pertama kali aku jatuh cinta dulu waktu umur 10 tahun. Waktu itu rasanya masih terlalu cepat untuk anak seumuranku mengenal cinta. Pada umur 10 tahun itu pula, aku pertama kali mengenal kata pacaran. Sebut saja dia cinta pertama sekaligus pacar pertama untukku. Karena namanya anak-anak, pacarannya juga seolah main-main dan kekanak-kanakan. Tapi perasaan itu seakan masih membekas sampai sekarang. Kenangan kebersamaannya juga seakan masih teringat jelas. Aku pikir itu bukan cinta biasa.
Sekarang umurku belum genap 16 tahun. Lima tahun lebih berlalu semenjak itu. Hubungan yang dijalin itu memang telah berakhir dua tahunan yang lalu, saat aku dan dia memutuskan berpisah. Waktu saat kami mulai sama-sama memasuki bangku SMP. Pemikiran yang dewasa memang saat aku berpikir bahwa aku tidak begitu lagi mencintainya.
Ternyata perpisahan waktu itu bukan pilihan yang tepat. Tanpa kusadari di hatiku masih ada dia, entah itu karena aku melihatnya setiap hari atau apa tapi bisa jadi karena kami masih satu sekolah. Mungkin karena tidak terlalu besarnya cintaku padanya, aku pun seolah acuh pada hatiku yang mengatakan aku masih mencintainya. Dan aku pun menjalin hubungan dengan seseorang, seseorang yang pada akhirnya membuat aku menunggu sangat lama, seseorang yang seolah mempermainkan aku dan seseorang yang membuat aku menyesal telah mengabaikan perasaan bahwa aku masih mencintainya, cinta pertamaku. Tidak tidak, itu bukan sebuah penyesalan yang pantas disesali.
Dan untuk ketiga kalinya, aku kembali menjalin hubungan. Aku seperti menjadi orang jahat waktu bersamanya, selalu melakukan tindakan sesukaku. Huh, aku seolah melampiaskan perasaanku pada orang ini. Tapi mengapa dia teramat baik untuk itu? Apakah bila aku kembali memutuskannya, dia akan baik-baik saja? Aku hanya tak ingin kembali menyakitinya oleh karena sifatku yang seperti ini. Mungkin memang aku aneh, tapi dibalik itu semua aku menyayanginya.
Aku tidak terlalu mempercayai itu cinta. Karena aku juga dibesarkan di keluarga yang tidak terlalu banyak cinta. Aku mungkin seorang yang kesepian, seorang yang hanya bisa memendam semuanya sendiri. Bagaimana dengan orang yang kusebut sahabat? Berpikir mereka memiliki masalahnya masing-masing, itu tak masalah jika aku tidak begitu mau berbagi masalahku.
Hari-hariku ku jalani dengan selalu berharap bahwa esok akan lebih baik. Selalu berusaha menunjukkan bahwa hidupku tidak memiliki masalah dan aku orang yang paling bahagia di dunia ini serasa melelahkan. Semuanya kebohongan. Saat hatiku merasa lelah dengan semua ini, saat itu pula aku selalu merindukannya. Dia yang biasanya menyandarkan bahunya untukku saat aku merasa sedih. Dimana dia saat ini? Mengapa aku terlambat menyadari bahwa dia teramat berarti untukku.
Otakku menjadi bingung saat aku memikirkan mengapa aku bersedih saat aku mengetahui dia sudah memiliki kekasih baru dan sangat senang jika suatu hari dia berpisah dengan kekasihnya itu. Ada apa denganku? Padahal jelas-jelas aku mengatakan aku tidak begitu menyukainya lagi. Tapi mengapa saat dia menatapku, hatiku seolah masih bergetar? Dia, cinta pertamaku, mengapa sekarang dia menjadikan aku orang yang egois? Aku hanya ingin dia mencintaiku, aku hanya ingin hanya aku di hidupnya padahal cintaku sendiri tidak sepenuhnya untuknya, hatiku bahkan sekarang seolah mengatakan aku mencintai orang lain. Tapi mengapa dia seolah abadi dalam hatiku ini?
Hingga suatu saat orang lain yang kucintai itu memilih pergi meninggalkanku. Aku merasa sedih, hatiku seolah hancur. Orang lain itu mengapa seenaknya untuk datang pergi, mengapa orang lain itu selalu menghancurkan hatiku dan kemudian memperbaikinya. Dan mengapa orang lain itu seperti telah menjadikan aku orang yang sangat mencintainya. Tidak, orang lain itu bukan menjadi orang lain lagi, orang lain itu telah menjadi orang yang penting di hidupku. Otakku tidak begitu hebat untuk bisa mengerti hati, bahkan tentang perasaan ini masih sulit dimengerti. Saat aku mengatakan aku mencintainya, tapi hatiku juga menegaskan bahwa di sisi lain nama cinta pertamaku itu masih belum hilang. Oh Tuhan, mengapa saat hatiku hancur karena orang lain itu, Kau malah mengirimkan dia “cinta pertamaku” untuk menghiburku.
Dia kembali mengatakan bahwa dia masih mencintaiku. Kata-kata itu seperti menjadi alasan aku tersenyum namun tidak begitu ku indahkan. Aku buat dia menunggu, padahal aku tau jawaban hatiku yang tak bisa menerimanya lagi. Ya, sampai suatu saat orang lain yang begitu aku cinta itu datang kembali. Entah karena aku bodoh atau apa, aku menyambutnya dengan penuh senyuman dan kebahagiaan. Aku meninggalkan dia “cinta pertamaku” karena orang lain tanpa berpikir apa yang akan terjadi padanya. Tapi dia tidak pernah bosan datang dan datang lagi kepadaku dan aku pun selalu menolaknya.
Hingga suatu ketika dia datang lagi tapi bukan untuk mengatakan “dia mencintaiku” melainkan orang lain. Dadaku terasa sesak saat itu dan hatiku seakan sakit. Bagaimana mungkin aku seperti? Mengapa aku begitu egois. Tidak selamanya dia akan selalu mencintaiku, tidak selamanya dia rela menunggu. Aku hanya bisa menahan tangis dan mengatakan “Berbahagialah. Aku tau suatu saat nanti kamu pasti menemukan orang yang lebih dari aku”. Dia hanya membalas dengan senyum, dan aku melanjutkan dalam hati “Tapi bisakah walaupun kau mencintai orang lain saat ini, aku akan selalu ada di hatimu itu dan selalu abadi disitu”.

lidah doni



Lidah itu lunak. Tak bertulang. Susah diatur. Semaunya saja. Beda dengan mata. Bisa dipejam. Kalau tak mau melihat. Beda dengan hidung. Bisa ditutup. Jika tak mau menghirup. Tapi lidah lain. Susah dikendalikan. Susah sekali. Juga bagi Doni. Padahal Doni masih muda. Usianya belum senja. Belum pula kepala dua.
Doni hanya anak remaja. Punya banyak mimpi. Punya banyak cita-cita. Tapi inilah kendalanya. Lidahnya tak bisa diatur. Mau tampil terus. Seperti tak diurus.
Suatu kali Marwan masuk ke kelas. Sepatunya baru. Semua mata menuju. Mata Doni juga. Semua memuji.
“Sepatu yang bagus” kata seorang teman.
“Pasti beli di luar negeri” kata teman yang lain.
“Ah, biasa paling minjem. Punyaku lebih keren asli buatan Italy” suara itu tiba-tiba memecah kebisingan. Doni terkejut. Lidahnya berulah lagi. Padahal sepatu Doni sudah butut. Tak layak lagi disebut sepatu. Butut dan layak disejajarkan dengan batu.
Semua mata memandang Doni. Tapi semua seperti maklum. Pasti Doni asal ngomong. Pasti lidah Doni berulah lagi. Tak ada yang memandang ke bawah. Mencari tahu soal sepatu Italy. Sepatu yang jadi sesumbar Doni.
Kali lain, Deasy tampil mengenakan baju baru. Di sekolah Doni tiap hari Sabtu semua memakai baju bebas. Tak ada seragam hari itu. Deasy tampak anggun dengan baju barunya. Semua memuji. Semua memandangnya dari bawah ke atas. Memuji gaun Deasy. Gaun yang membuat Deasy tampak bak bidadari. Begitu juga Doni. Melihat dan ingin memuji.
“Paling beli di pasar kaget. Itu lho yang jual pakaian bekas..” suara itu keras terdengar. Doni saja terkejut. Tangannya refleks menutup mulutnya. Lidahnya berulah lagi. Kali ini hasilnya tragis. Deasy menangis. Teman-teman kesal. Menunjuk-nunjuk Doni.
Doni kecut. Merengut. Bangun dari bangkunya. Keluar kelas. Menuju kamar mandi. Doni diam di kamar mandi. Berdiri di depan kaca.
Kaca itu jelas memantulkan siapa saja yang di depannya. Kali itu hanya Doni. Tak ada anak lain. Semua diam di kelas. Hanya Doni di kamar mandi.
Doni membuka mulutnya. Setelah melihat ke kanan dan kiri. Satu per satu diperhatikannya isi mulutnya. Tak ada yang aneh, pikir Doni. Tapi kemudian Doni terhenyak. Lidahnya tampak menjulur keluar. Padahal itu tak diinginkannya. Lidah itu menjulur keluar seperti mengejek Doni. Meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri. Doni berusaha mengatupkan mulutnya. Tapi lidah itu meronta, tak ingin dikekang. Tak ingin masuk mulut. Akhirnya Doni memaksa mengatupkan mulutnya. Lidah itu terluka. Tergigit oleh gigi taring Doni.
Diambilnya tisu. Disekanya bekas darah yang keluar dari sudut bibirnya. Perlahan Doni berjalan kembali ke kelas.
Di rumah Doni sendu. Siapapun menyapa tak dijawabnya. Tak juga mamanya yang menatap Doni heran. Tapi mamanya tahu. Ini pasti ulah lidah Doni. Kejadian ini sudah sering. Lidah itu berulah lagi. Kali ini Doni benar-benar sedih. Didiamkannya saja anaknya itu. Nanti saja kuhibur dia, pikir mama Doni.
Orang tua itu mengetuk pintu. Pintu dibukakan. Mama Doni tersenyum padanya. Orang tua itu masuk ke dalam rumah. Duduk di ruang tamu. Tak lama sirup dingin keluar. Tersaji bagi si orang tua. Kerongkongan kering perlahan jadi ramah. Oleh segarnya air sejuk manis sirup belewah. Mama Doni tampak menemaninya. Mereka bicara serius. Rupanya tentang Doni.
Beberapa tahun lalu Doni tidak begini. Lidahnya ramah dan selalu memuji. Tapi satu peristiwa mengubah Doni. Pengemis di depan sekolah sakit hati. Doni tak memberi uang pembeli nasi. Doni iba saat itu. Tapi tidak dengan teman-temannya saat itu. Semua kompak mengejek sang pengemis. Doni waktu itu hanya diam. Tak dibelanya si pengemis. Tak diturutinya pula ejekan teman-temannya. Tapi Doni yang kena tulah. Si pengemis berkata-kata. Dalam bahasa yang tak dimengerti mereka. Setelah itu air tersembur. Semua lari. Doni tak sadar. Tak diperhatikannya arah semburan. Semua kena padanya. Sejak itu lidahnya berulah. Tak mau diatur. Sesukanya berkata-kata.
Sore itu segera berlalu. Doni pilu. Karena lidah yang berulah. Makan malam terasa tak sedap. Tidur pun jadi asa lelap. Doni larut dalam sedih menatap nasib karena lidah. Apa lagi yang akan terjadi besok? Pikirnya.
Pagi harinya Doni masih sedih. Sarapan pagi disantap ala kadarnya. Tak dinikmatinya roti isi sosis itu. Hanya dimakan tanpa dirasa.
“Ma, Doni jalan dulu…” kali itu Doni bisa permisi pada mamanya. Padahal kemarin-kemarin bukan kata permisi yang keluar tapi perintah ini itu pada mamanya. Bersihkan kamar lah, belikan ini lah, belikan itu lah, dan lain-lain. Doni heran. Apa lidahnya sudah membaik?
Di sekolah Doni hanya diam. Teman-teman menjauhinya. Takut dikata-katai. Takut kecewa mendengar kata-kata Doni. Tapi lidah itu tak berulah kali ini. Doni tetap diam sampai akhirnya gurunya bertanya. Doni menjawab. Jawabannya lugas. Persis apa yang dimaui gurunya.
“Jawaban yang sangat cerdas Doni!” puji gurunya. Doni bingung. Teman-teman Doni juga bingung. Tapi bingungnya tak lama. Tepuk tangan terdengar membahana.
Hari terus berlalu. Pergantian pelajaran mengulang peristiwa yang sama. Doni tampil bak bintang kelas. Semua pertanyaan dijawab tuntas. Lengkap dan benar-benar jelas.
Hari itu Doni sangat gembira. Teman-teman mulai mendekat. Semuanya tampak ceria.
“Wah, hebat Doni, ada apa ya? Kok kamu bisa tiba-tiba berubah gini?” hanya itu pertanyaan teman-teman. Doni tak bisa menjelaskan. Hanya tutur maaf yang terucap. Mohon maaf atas perkataanku selama ini ya, hanya itu yang bisa Doni katakan.
Menuju rumah Doni tampak senang. Di tepi jalan tak sengaja Doni melihat. Pengemis yang dulu dihina oleh teman-temannya. Pengemis yang berkata-kata tak dimengerti yang lalu menyemburkan air. Doni mendadak ketakutan. Tapi pengemis itu tampak tersenyum. Doni menatap singkat pengemis itu. menundukkan kepala tanda permisi. Pengemis itu hanya tersenyum.
Di rumah secangkir sirup blewah sudah menunggu. Mama Doni menyambutnya ceria. Doni tersenyum menatap mamanya.
“Ma, hari ini lain Ma” kata Doni, “Lidah tak berulah Ma…” mama Doni hanya tersenyum. Dirapikannya meja makan. Disiapkannya makan siang untuk Doni.
Sambil makan Doni melihat ke luar jendela. Pemandangan yang membuat Doni kaget. Pengemis itu ada di luar. Tapi tak menatap Doni. Pengemis itu terlihat sibuk. Rupanya dia sedang merapikan taman.
“Ma, itu siapa yang diluar sana?” tanya Doni. Mamanya lalu menjelaskan. Itu adalah seorang pengemis. Sudah lama pengemis itu mencari seorang anak. Katanya anak itu telah salah kena tulah. Ciri-cirinya mirip Doni. Ketika suatu kali melihat Doni, orang tua itu mengikuti Doni pulang. Lalu bertemu mama Doni. Orang tua itu butuh pekerjaan. Mama Doni menyambutnya baik. Pekerjaan tukang kebun pun diberikan. Orang tua itu kemudian mengaku salah. Menggunakan ilmu bukan untuk kebaikan. Malah untuk tulah. Sayang kena anak yang salah. Sejak itu dia berjanji tak akan main-main ilmu lagi. Pengalaman dengan Doni sudah membuka matanya.
Begitu penjelasan mamanya selesai, Doni langsung keluar. Disapanya orang tua itu. Orang tua itu bukan lagi pengemis. Dia tukang kebun Doni sekarang. Doni minta maaf padanya. Minta maaf atas perlakuan teman-temannya dulu. Minta maaf karena waktu itu Doni tak bisa mencegah teman-temannya menghina si pengemis. Orang tua itu tersenyum. Ditepuknya pundak Doni. Mereka pun saling bercerita. Doni senang. Lidahnya tak berulah lagi. Mudah-mudahan tak ada lagi orang yang sakit hati. Karena asal bicara. Asal ngomong. Tak peduli kalau ada yang sakit hati. Mudah-mudahan!